Rabu, 11 Mei 2011

                  Pembelajaran Kontekstual (CTL)


Nurhadi (2002) menyatakan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. (Susilana et al., 2006: 147).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan CTL mendorong peran aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar sehingga terjadi interaksi dua arah dari siswa dan guru. Selain itu, terdapat indikasi bahwa siswa akan merasa senang dalam mengikuti kegiatan pembelajaran karena materi pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dialami siswa. Siswa diharapkan mendapatkan kemampuan untuk bisa hidup (life skill) dalam lingkungan masyarakat dengan secara fungsional, hal-hal yang dipelajari di sekolah senantiasa berhubungan dengan permasalahan dan situasi masyarakat secara nyata dalam kehidupan di lingkungan masyarakat.
Pendekatan CTL memfasilitasi kegiatan pembeajaran supaya siswa dapat mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar secara kongkrit melalui keterlibatan siswa dalam aktivitas mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri (learning by doing). Pendekatan CTL mempunyai tujuh tahapan pokok yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu:
1)      Konstruktivisme (Contructivisme)
Pengertian konstruktivisme menurut Wina Sanjaya (2006:12) adalah “Proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman”. Menurut pengembang filsafal konstruktivisme Mark Baldwin dan diperdalam oleh Jean Piaget  dalam Wina Sanjaya (2006:13) menyatakan bahwa “Pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
Konstruktivisme merupakan landasan filosofis dalam CTL. Siswa dituntut  untuk membangun pengetahuannya secara bertahap yang dimaknai melalui pengalaman belajar yang kongkrit dan hasilnya diperluas dengan kaidah dan konsep yang terbatas. Penguasaan teori yang bersifat hafalan dipandang tidak efektif bagi siswa dalam penguasaan serta kemampuan untuk  jangka panjang.
Oleh karena itu, implikasinya bagi guru adalah guru dapat membimbing siswa untuk memaknai setiap konsep yang dipelajari. Guru dituntut untuk memiliki pengetahua yang luas sehingga dapat memberikan ilustrasi bagi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dapat memfasilitasi siswa mentransformasikan pemecahan masalah lain yang mempunyai keterkaitan walaupun dalam waktu yang berbeda.   
Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal–hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan–gagasan. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat dijadikan milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran (Wina Sanjaya : 2006).
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip– prinsip konstruktivisme yang diambil adalah :
a)      Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
b)      Pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan kearifan siswa sendiri untuk bernalar;
c)      Siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah;
d)     Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. Suparno (1997:49)

2)      Menemukan (Inquiry)
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Proses menemukan inilah yang dirangsang secara optimal lewat penerapan strategi pembelajaran CTL. Karena strategi pembelajaran CTL menekankan keaktifan siswa dalam menemukan sendiri pengetahuan. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang hatus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Ada beberapa langkah dalam kegiatan menemukan dalam kegiatan menemukan (inkuiry) yang dapat dipraktekkan di kelas :
a)      Merumuskan Masalah;
b)      Mengamati dan melakukan observasi;
c)      Menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan bagan, tabel dan karya lainnya.
d)     Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain. Suparno (1997:50)

3)      Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingin- tahuan setiap individu; sedangkan menjawa pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam bepikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Cara guru memnacing siswa untuk bertanya akan dapat tereksplorasidengan baik. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan–pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang di pelajarinya.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk : menggali informasi, baik administrasi maupun akademis; mengecek pemahaman siswa; membangkitkan respon siswa; mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa; mengetahui hal–hal yang sudah diketahui siswa; memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang di kehendaki guru; untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Kegiatan ”bertanya” menjawab permasalahan gaya pendidikan lama yang menganggap bahwa ”tong kosong nyaring bunyinya” atau ”berbicara adalah perak tetapi diam adalah emas”.
Banyak bertanya sering kali tidak di tanggapi dengan positif oleh guru maupun teman–teman. Kelas bukan merupakan tempat yang aman untuk ”berbuat kesalahan” dan eksplorasi. Anak kecil dalam kepoloson belajarnya justru sering kali bertanya banyak hal yang terkadang membingungkan orang tua seperti ” kenapa langit warnanya biru ? bagaimana adik bisa berada di perut ibu ?”. Sekali lagi seiring perjalanan pendidikan kita, kepolosan dan kekritisan tidak semakin terasah tetapi justruh sebaliknya. Siswa menjadi malas dan bahkan apatis terhadap kegiatan belajar yang dirasa sebagai siksaan.

4)      Masyarakat Belajar (Learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang bannyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat di pecahkan sendiri, tetapi mebutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajarn deperoleh melalui kerjasama dengan orang lain.
Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal naupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya kepada orang lain. Inilah hakekat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi.
Belajar yang baik adalah bersifat sosial. Satu relaah di Standvord University (Dave Meieer, 2002 : 62) menemukan bahwa bimbingan belajar dari kawan itu empat kali lebih efektif untuk meningkatkan prestasi di bidang matematika dan membaca dibandingkan jika jumlah murit dalam kelas si kurangi atau waktu pengajaran di perpanjang dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan instruksi individual dengan komputer.
Model pembelajaran dengan teknik Learning Community sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam :
a)      Pembentukan kelompok kecil;
b)      Pembentukan kelompok besar;
c)      Mendatangkan ”ahli” ke kelas (tokoh, olah ragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu dll);
d)     Bekerja dengan kelas sederajat;
e)      Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya;
f)       Bekerja dengan masyarakat.

5)      Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya : Guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
Proses modeling tidak sebatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dinggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman–temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

6)      Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru di pelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang suda dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengalaman yang batu di terima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa “merenung” kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, mestinya dengan cara yang baru saya pelajari, sehingga file dalam komputer saya lebih tertata. Pengetahuan diperoleh melalui proses, pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajara yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan–hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
Dengan begitu siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Refleksi menjawab pertanyaan kaum behaviorisme yang memisahkan aspek jasmani manusia dengan aspek rohaninya. Selama ini siswa menjalani pembelajaran dengan statis dan tanpa variasi. Jarang sekali mereka diberi kesempatan untuk ”diam sejenak” dan berpikir tentang apa yang baru saja mereka lakukan atau pelajari. Waktu amat cepat berlalu, semua terburu–buru dan mungkin memang tidak sempat melakukannya.

7)      Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hannya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hannya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian nyata (Authentic Assessment) adalah prosa yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar–benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang posirif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus – menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada prose belajar bukan kepada hasil belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Muchyidin, A.S. et al. (2006). Kurikulum dan  Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UPI.
Ibrahim, R. et al. (2002). Kurikulum dan  Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar