Selasa, 03 Mei 2011

Variasi Kode Bahasa, Alih Kode, dan Campur Kode

1. Profil Situasi Kebahasaan
     Sukamanik merupakan salah satu daerah di kecamatan pamanukan yang mempunyai keunikan dalam berbahasa. Warga Sukamanik menggunakan bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Padahal daerah Sukamanik secara geografis terletak di daerah Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda dan bukan daerah perbatasan dengan daerah Jawa Tengah maupun Jawa Timur yang menggunakan bahasa Jawa.
     Penduduk setempat menyatakan bahwa mereka dapat berbahasa Jawa karena nenek moyang mereka memang berasal dari daerah Tegal dan Karang Ampel. Dahulu daerah sukamanik merupakan daerah sepi yang tidak berpenghuni. Kemudian datang orang-orang Tegal dan Karang Ampel yang merantau ke Jawa Barat dan menempati daerah Sukamanik. Mereka mendirikan pemukiman, mencari mata pencaharian, membangun keluarga, dan akhirnya menghasilkan keturunan.
     Warga Sukamanik menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya karena mereka memang diajarkan bahasa Jawa oleh orang tua mereka. Keadaan ini terus berlangsung sehingga bahasa Jawa menjadi bahasa yang dominan di Sukamanik. Walaupun daerah Sukamanik ini berbatasan dengan daerah-daerah yang menggunakan bahasa Sunda, mereka masih menggunakan bahasa Jawa. Hal ini juga membuat mereka bisa menggunakan bahasa Sunda untuk berinteraksi dengan warga di daerah lain. Liburan panjang yang sering membuat kemacetan di jalan Sukamanik membuat warga untuk membuat lahan usaha. Usaha itu membuat warga berintekaksi dengan orang lain dengan bahasa Indonesia.
2.Variasi Kode Bahasa
     Variasi kode bahasa yang terdapat dalam transkrip data yaitu variasi dari segi penutur dan variasi dari segi keformalan. Variasi dari segi penutur ditemukan dalam idiolek setiap penutur, dialek para penutur, dan sosiolek para penutur di daerah Sukamanik. Variasi dari segi keformalan ditemukan dalam ragam para penutur.
Variasi dari segi penutur ditemukan dalam idiolek setiap penutur yang terdapat dalam data yang telah diteliti. Idiolek ini dapat dilihat dari warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat yang digunakan setiap penutur berbeda. Warga Sukamanik menggunakan dialek Jawa. Walaupun mereka berbicara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dialek Jawa masih kental di lidah mereka. Sosiolek yang digunakan para penutur dominan Jawa Ngoko dan Sunda Kasar karena pendidikan mereka yang masih rendah serta keadaan sosial ekonomi yang kurang mapan karena sebagian besar warga bekerja sebagai buruh dan petani.
Variasi keformalan ditemukan dalam ragam yang digunakan para penutur yaitu ragam santai dan ragam akrab. Ragam santai digunakan karena situasi tidak resmi dimana warga sukamanik berinteraksi dengan orang asing. Hal ini terdapat dalam penggalan tuturan berikut.
Penggalan Tuturan I
Hasby    : Ibu dari Jawa ya? Kok ngomongnya medok?
Ibu         : Di sini kan kampung Jawa neng.
Hasby    : Oh, bukannya Pamanukan Sunda ya Bu?
Ibu         : Kalo disini campur neng, Sunda ada Jawa ada.
Ima        : Sunda?
            Ibu         : Nya sunda ge tiasa. Lamun lumpat ya santer. Kalo orang sini melayu kan lari.
Hani      : Ibu ga pusing ada Jawa ada sunda?
                                             Ibu         : Ya ga, udah biasa. Masih pusing mikirin ekonomi. Sok neng, ibu mah sendiri. Anak dua, ibu satu, menantu satu. Usaha sendiri. Pagi jual ayam.
                            
Penggalan Tuturan II
Bapak    : Aya naon ieu?
Ibu         : Nah itu orang Jawa, neng.
Semua    : Oh…
Ima        : Ini juga Jawa, sok ngomong pake bahasa JAwa
Bapak    : Jawane nang ndi? (Jawanya dimana)
Endah    : Tegal, bapake saking pundi? (Tegal, bapaknya darimana?)
Bapa      : Aku wong Solo. (saya orang Solo)
Ragam akrab digunakan oleh Ibu Eni dan para buruh. Ragam ini digunakan karena mereka sudah mengenali satu sama lain dalam waktu yang relatif lama. Hal ini terdapat dalam penggalan tuturan berikut.
Penggalan Tuturan III
Bapak    : Sarapan… len…sarapan.
Ibu         : Sarapan? Segane urung mateng!
Bapak    : Lah primen?
Ibu         : Ngko ya ngenteni tak masak sit.
Bapak    : Ya wis ngko mene maning.
Penggalan Tuturan IV
Bapak    : kie isi ne pira? ( sambil menunjukan salah satu produk minuman)
Ibu         : nenem.
Faktor sosial budaya yang menentukan pemilihan bahasa adalah historisitas atau kesejarahan, vitalitas atau keterpakaian, penghormatan, dan prestise. Faktor historisitas yang berkaitan dengan warga Sukamanik tumbuh sejak kedatangan generasi orang Jawa pertama yang bermukim di daerah Sukamanik. Bahasa Jawa pun digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari orang. Hal itu terus berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Faktor vitalitas terdapat pada pemakaian bahasa Jawa yang dituturkan oleh penduduk asli daerah Sukamanik yang sebagian besar keturunan Jawa. Faktor penghormatan dan prestise terhadap mitra tutur menjadikan warga Sukamanik memiliki kemampuan berbahasa Sunda dan Indonesia dengan dialek Jawa mereka yang masih kental.
3. Alih Kode dan Campur Kode
     Alih kode ditemukan dalam tuturan Ibu Eni dan Bapak Solo. Ibu Eni menggunakan bahasa Jawa beralih menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu terdapat dalam penggalan tuturan berikut.
Penggalan Tuturan V
Bapak    : Sarapan… len…sarapan.
Ibu         : Sarapan? Segane urung mateng!
Bapak    : Lah priben?
Ibu         : Ngko ya ngenteni tak masak sit.
Bapak    : Ya wis ngko mene maning.
Tri          : Itu siapa Bu?
Ibu         : Itu Buruh petani, pabrik sebelah.
Semua    : Oh...
Bapak Solo menggunakan bahasa Sunda kemudian beralih menggunakan bahasa Jawa. Hal ini terdapat dalam penggalan tuturan berikut.
Penggalan tuturan VI
Bapak    : Aya naon ieu?
Ibu         : Nah itu orang Jawa, neng.
Semua    : Oh
Ima        : Ini juga Jawa, sok ngomong pake bahasa Jawa
Bapak    : Jawane nang ndi?
Endah    : Tegal, bapake saking pundi?
Bapa      : Aku wong Solo.
Faktor yang menyebabkan alih kode yaitu penutur, mitra tutur, hadirnya penutur ketiga, dan pokok pembicaraan. Penutur sengaja beralih kode terhadap mitra tutur dengan tujuan mengubah ragam santai menjadi ragam akrab. Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur beralih kode dalam wujud alih bahasa. Kedatangan mitra tutur ketiga membuat penutur beralih kode untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, apalagi terdapat persamaan latar belakang kebahasaan penutur dan mitra tutur ketiga.
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang ditemukan bersifat informal. Pokok pembicaraan disampaikan dengan bahasa tidak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
     Campur kode ditemukan dalam tuturan Ibu Eni yang menggunakan bahasa Indonesia secara dominan dengan disisipi dengan unsur bahasa lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Hal itu terdapat dalam penggalan tuturan berikut.
Penggalan Tuturan VII
Hasby    : Oh, bukannya Pamanukan sunda ya Bu?
Ibu         : Kalo disini campur neng, sunda ada Jawa ada.
Ima        : Sunda?
            Ibu         : Nya sunda ge tiasa. Lamun lumpat ya santer. Kalo orang sini melayu kan lari.
Campur kode uga terdapat dalam tuturan Ibu Eni ketika bertutur dengan bahasa Indonesia kemudian disisipi kata dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Hal itu terdapat dalam penggalan tuturan berikut.
Penggalan Tuturan VIII
Hasby    :  Kalo ibu asli orang sini?
Ibu         :  Ya asli, tapi bapak ibu dari karang ampel, terus suami ibu dulu orang sunda. Jadi weh tiasa jawa sunda ge tiasa. Tapi kan neng mun di dieu mah sunda na kasar. Jawana ge kasar. Tapi ibu mah henteu. Anak ibu ge lamun dipanggil teh neng! Jawabna dalem, kan batur mah neng jawabna the nun. Terus mun bilang BAB (buang air besar) kan bilangna ngising, anak ibu mah bilangna Mah hoyong ee.
Faktor yang menyebabkan campur kode yaitu sikap (attitudinal type) atau
latar belakang sikap penutur dan kebahasaan (linguistic type) atau latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar