Rabu, 11 Mei 2011

Pragmatik

Analisis Deiksis Terhadap Tuturan Mertua dan Menantu yang Berlatar Belakang Budaya Berbeda
Ita Sartika
0807262
Abstrak
Sistern deiksis bahasa yang satu berbeda dengan system bahasa yang lain. Hal ini dikarenakan setiap bahasa memiliki kaidah dan latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan ini pun kemudian memberikan tuntutan tersendiri bagi orang lain yang ingin mempelajari atau menggunakannya dalam tindak komunikasi.  Tuntutan ini memang akan terasa sangat sulit bagi orang yang bukan penutur asli sebuah bahasa karena ia pun harus mempelajari budaya dimana bahasa itu berkembang. Jika tidak, maka proses komunikasi yang dilakukannya akan terganggu atau bahkan akan menyinggung perasaan lawan bicara. Oleh sebab itu, agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan lancar kita harus mempelajari kaidah dan latar belakang budaya bahasa tersebut. Selain itu kita juga harus mempertimbangkan beberapa hal penting dalam tindak berbahasa seperti lawan bicara, tujuan pembicara, masalah yang dibicarakan, dan situasi.

Abstract
Every language has a differerent deixis system.  Because every language had a different rule and  culture background. This difference bring someone who want learn this language or used this language in to the special demand. This demand will be so difficult for someone who not a native speaker, because he also must be learn about the culture where that language was borned.  If  he don’t learn it, the communication which he was hold will be not balance or it’s also will make another person getting hurt because of his speech. So that if he want his communication being well, he must be learn abaut the rule and background culture of that language. Beside that, we also must take an consideration in to the important thing of speech act such as interlocutor, purpose, problem and situation.
Kata Kunci: Mertua, Menantu, Budaya, Bahasa, Deiksis,
Pendahuluan
Mertua merupakan panggilan bagi orang tua dari pasangan hidup kita. Merekalah yang telah membesarkan pasangan hidup (suami/istri) kita.  Oleh karenanya kita harus menghormati mereka layaknya orang tua kita sendiri. Akan tetapi hubungan dengan sosok mertua ini akan menjadi rumit apabila kita memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengannya. Dimana adanya perbedaan budaya ini juga menandakan sistem deiksis bahasa yang digunakannya pun berbeda pula.
Apabila seseorang salah menggunakan bentuk deiksis yang tepat saat berkomunikasi dengan orang lain, maka hal tersebut akan membuat komunikasi yang dibangunnya menjadi terganggu. Terlebih jika ia salah dalam menggunakan sistem deiksis tersebut kepada orang yang lebih tua atau seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dirinya, maka komunikasi bahkan hubungan yang dijalin oleh keduanya akan tersendat. Hal inilah yang sering terjadi dalam hubungan antara seorang mertua dan menantu yang berlatarbelakang budaya berbeda.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menimbulkan ketersinggungan masing-masing pihak akibat adanya system deiksis masing-masing bahasa yang berbeda serta menemukan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulnya ketersinggungan tersebut.
Adapun rumusan masalah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.       Bagaimana sistem dieksis yang digunakan oleh seorang menantu terhadap mertua yang berlatar belakang budaya berbeda?
b.      Bagaimana sistem dieksis yang digunakan oleh seorang mertua terhadap menantu yang berlatar belakang budaya berbeda?
c.       Hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulnya ketersinggungan masing-masing pihak akibat adanya system deiksis masing-masing bahasa yang berbeda?
Landasan Teori
Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan. Pragmatik juga dapat diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177).
              Ruang lingkup pragmatik itu mencakup beberapa kajian. Levinson (1983 : 37) mengatakan pragmatics is the study of deixis ( at least in past) implicatur, presupposition, speech acts, and aspect of discourse structure. Dengan kata lain pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, pranggapan tindak tutur dan aspek struktur wacana. Adapun menurut Nababan (1987:18) kajian pragmatik mencakup variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur percakapan, teori deiksis. praanggapan dan analisis wacana. Sementara itu Purwo (1984:10) mengatakan ada empat yang disepakati dalarn kajian pragmatik yaitu (1) deiksis, (2) pranggapan. (3) tindak ujar, dan (4) implikatur percakapan.
              Deiksis yang menjadi salah satu bidang kajian pragmatik merupakan kata atau frasa yang menghunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan diberikan (Agustina, 1995:40). Selain itu Purwo (1984:1) menjelaskan bahwa sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.
Dalam kajian pragmatik ada beberapa kriteria pembagian deiksis, Nansi J. (1983:18) membagi deiksis atas tiga macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat dan deiksis waktu. Pembagian ini sejalam dengan apa yang di1akukanoleh Bambang Kawwanti Purwo (1994:19) dan Victoria dan Robert (1987:91). Sedangkan Nababan (1987:41) membagi deiksis menjadi lima macam, yaitu deiksis persona, deiskis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial.
Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam peristiwa berbahasa (Agustina, 1995:43). Djajasudarma (2010:51) mengistilahkan dengan deiksis pronomina orangan (persona), sedangkan Purwo (1984:21) menyebutkan dengan deiksis persona. Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah peran pemeran serta dalam peristiwa berbahasa tersebut (Nababan, 1987:41). Bahasa Indonesia mengenal pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.
Dalam sistem ini, orang pertama ialah kategori rujukan pembicara kepada dirinya sendiri, seperti saya, aku, kami, dan kita. Orang kedua adalah kategori rujukan kepada seseorang (atau lebih) pendengar atau siapa yang dituju dalam pembicaraan, seperti kamu, engkau, anda, dan kalian. Orang ketiga adalah kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara dan bukan pula pendengar, seperti dia, ia, beliau, -nya, dan mereka.
Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu (Agustina, 1995:45). Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari pendengar. Purwo (1984:37) mengistilahkan dengan deiksis ruang dan lebih banyak menggunakan kata penunjuk seperti dekat, jauh, tinggi, pendek, kanan, kiri, dan di depan. Sedangkan Djajasudarma (2010:65) mengistilahkannya dengan dieksis penunjuk
Adapun deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Agustina, 1995:46). Contoh deiksis waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.
Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengobservasi secara langsung tindak tutur yang dilakukan oleh sumber data, dalam hal ini yang menjadi sumber data penelitian adalah seorang wanita berumur tiga puluh tahun yang bernama Sri Endah yang memiliki seorang mertua yang berumur empat puluh lima tahun yang bernama Ibu Yayah. Kedua sumber data ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Sri Endah yang berperan sebagai seorang menantu memiliki latar belakang budaya betawi sedangkan Ibu Yayah memiliki latar belakang budaya Sunda. Sehingga di dalam hubungan mertua dan menantu ini sering dijumpai permasalahan yang diakibatkan oleh ketersinggungan masing-masing pihak akibat adanya sistem deiksis masing-masing bahasa yang berbeda
Selain mengobservasi secara langsung penulis juga melaksanakan wawancara secara personal terhadap kedua objek penelitian secara terpisah untuk mengetahui apa yang sebenarnya menjadi pemicu terjadinya ketersinggungan tersebut. Setelah itu penulis mencatat hal-hal yang dirasa penting dan merekam  percakapan diantara keduanya.
            Adapun metode yang digunakan dalam proses analisis data adalah dengan mengelompokkan data yang sudah diperoleh sesuai dengan teori yang relevan, kemudian data-data tersebut dianalisis untuk menemukan sebab dan tujuan data itu sebenarnya. Setelah itu, hasil temuan tersebut digunakan untuk dijadikan pertimbangan dalam mencari solusi agar kesalahan dalam penggunaan sistem deiksis bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan dapat dikurangi.
            Kesimpulan penelitian ini ditarik berdasarkan hasil temuan dari analisis data diramu dengan teori yang relevan.

Deskripsi dan Analisis Data
Transkrip Data
Berikut ini akan disajikan sebuah contoh tuturan yang dilakukan oleh Sri Endah yang berperan sebagai seorang menantu dengan Ibu Yayah yang berperan sebagai mertua. Dialog ini didapatkan dengan menggunakan teknik rekaman pada saat Sri Endah hendak membawa sepatu sekolah anak bungsunya yang disimpan di rumah Ibu Yayah.
Sri Endah        : (1) Mah Endah teh asa gak arenak badan, muriang. (2) Ntar mau periksa sama Ayah
Ibu Yayah       : (3) Mau periksa ke rumah sakit mana Teh?
Sri Endah        : (4) Ah paling ke yang deket aja Mah
Ibu Yayah       : (5) Bangunna kurang darah Teh Endah Mah,
Sri Endah        : (6) Ieu asa dicocoggan Mah
Ibu Yayah       : (7) Pastina ge kurang darah Teh Endah mah, Mamah oge sok kitu!
Sri Endah        : (8) Dede sekolah ya ntar dianterin sama Ayah?
Ibu Yayah       : (9) Sekolah, nya? De, nya? (10) Teh Endah duduknya diatas atuh Teh!
Sri Endah        : (11) Muhun mangga Mah
Analisis data
Pembagian jenis deiksis antara ahli bahasa yang satu dengan ahli bahasa yang lain berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang digunakan oleh para ahli bahasa yang berbeda pula. Adapun penelitian ini akan menganalisis data menggunakan teori yang dikemukakan oleh Nansi J. (1983:18) yang membagi deiksis atas tiga macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat dan deiksis waktu.
v  Deiksis Persona
Berdasarkan dari deskripsi diatas kita dapat melihat bahwa Sri Endah yang berperan sebagai menantu dan berlatar belakang budaya Betawi, lebih memilih menggunakan nama dirinya sendiri dalam system deiksis persona tunggal sebagai kategorisasi rujukan pembicara karena dalam peristiwa tuturan tersebut ia berperan sebagai seorang menantu yang harus menghormati mertuanya.
Contoh: “Mah endah teh asa gak arenak badan, muriang. Ntar mau periksa sama ayah”
Dalam setiap percakapan dengan mertuanya Sri Endah selalu menggunakan namanya untuk merujuk pada dirinya sendiri. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu usaha Sri Endah untuk menunjukkan rasa hormat dan santun kepada mertuanya. Ia tidak menggunakan kata ganti persona saya dan aku karena dianggap hal itu kurang memiliki nilai rasa positif apabila digunakan untuk orang yang lebih tua, terlebih apabila kedua bentuk tersebut digunakan kepada lawan tutur yang berbudaya Sunda.
Bentuk kata ganti saya umumnya dipakai dalam situasi formal, meskipun dalam bahasa Indonesia sebenarnya bentuk kata ganti saya sudah menunjukkan rasa hormat, tetapi apabila bentuk tersebut digunakan dalam pembicaraan dengan orang yang lebih tua dan berlatar belakang budaya Sunda maka pemakaian bentuk kata ganti saya akan menunjukkan bahwa orang tersebut terkesan angkuh dan terkesan tidak menghormati lawan bicara. Selain itu kata ganti aku juga tidak digunakan dalam tuturan dengan seorang mertua karena kata ganti tersebut juga dinilai tidak sopan dan tidak lazim digunakan, walapun dalam bahasa Indonesia kata ganti aku bernada akrab dan sering digunakan dalam situasi informal.
Akan tetapi apabila Sri Endah berbicara dengan orang lain yang belum dikenalnya atau orang yang tidak memiliki kekerabatan dekat dengannya maka ia sering menggunakan kata ganti persona tunggal “saya” dalam berkomunikasi. Penggunaan nama diri sebagai sistem deiksis persona tunggal hanya digunakan kepada orang yang lebih tua dan memiliki kekerabatan yang dekat seperti mertua dan kakak kandung.
Adapun bentuk deiksis persona kedua yang digunakan oleh Sri Endah dalam merujuk kepada lawan bicara dalam hal ini mertuanya, ia menggunakan bentuk “Mamah”. Bentuk persona kedua ini digunakan karena ia mengikuti panggilan yang dilontarkan oleh anak kandung mertuanya tersebut. Sehingga diharapkan bentuk tersebut dapat membuat jalinan diantara keduanya menjadi akrab.
 Akan tetapi terdapat perbedaan bentuk rujukan yang ia gunakan kepada mertuanya apabila tuturan yang ia lontarkan tersebut ditujukan kepada anak-anaknya dalam hal ini cucu Ibu yayah, ia akan memakai bentuk “Emak” dalam merujuk mertuanya tersebut. Adapun bentuk “Emak” merupakan bentuk panggilan yang digunakan oleh cucu Ibu Yayah kepada dirinya.
Contoh: “Mintanya ke emak jung De”
Apabila ditinjau dari sistem deiksis yang digunakan oleh mertua pada menantunya, ibu yayah yang berperan sebagai mertua memakai bentuk rujukan “Mamah” kepada dirinya sendiri apabila berbincang dengan menantunya. Hal ini bertujuan agar sekat diantara keduanya menjadi hilang dan agar menantunya benar-benar mengganggap dirinya seperti ibu kandungnya sendiri.
Selain itu sistem deiksis persona kedua yang digunakan untuk memanggil menantunya adalah dengan menggunakan bentuk “Teh" yang dalam bahasa Indonesia bermakna kakak perempuan atau perempuan yang danggap telah dewasa, hal ini merupakan salah satu bentuk penghormatan yang dilakukan oleh Ibu Yayah kepada menantunya. Dalam tuturan sehari-hari Ibu Yayah tidak pernah sekalipun menyebut nama menantunya tanpa bubuhan “Teh". Hal ini dapat dilihat seperti pada kutipan berikut.
Ibu Yayah        : Mau periksa ke rumah sakit mana Teh?
Selintas kita dapat melihat bahwa kedua pihak telah berusaha menggunaka sistem deiksis persona yang tepat agar tidak menyinggung perasaan lawan tuturnya. Akan tetapi pada kenyataannya masih saja dijumpai permasalahan kecil yang berkaitan dengan sistem deiksis persona diantara keduanya yang diakibatkan oleh latar belakang mereka yang berbeda.
Permasalahan pertama adalah mengenai pemakaian bentuk bahasa “si” yang sering digunakan oleh menantu yang berlatar belakang budaya betawi. Bagi masyarakat betawi pemakaian bentuk “si” sebelum nama atau sebutan seseorang adalah sesuatu hal yang wajar.
Contoh: “Mah, ari si a nono udah pulang?”
Akan tetapi bagi masyarakat Sunda hal tersebut bukanlah sesuatu yang wajar terutama apabila bentuk tersebut ditujukan kepada orang yang lebih tua. Oleh sebab itu pada masa awal komunikasi diantara keduanya, sang mertua merasa tidak nyaman dan tersinggung dengan penambahan bentuk “si” yang dilontarkan oleh menantunya, hal ini  karena penambahan bentuk “si” sebelum nama seseorang dinilai tidak sopan. Ia pun mengatakan ketersinggungannya itu kepada suami Sri Endah sehingga menantunya tersebut diberitahu oleh suaminya akan perbedaan nilai rasa pemakaian bentuk tersebut dan akhirnya menantunya itu merubah cara berbahasanya dengan sedikit demi sedikit menghilangkan sisipan”si” dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Permasalahan kedua yang sempat terjadi adalah ketersinggungan sang mertua terhadap tuturan menantunya yang memanggil dirinya dengan sebutan “mertua” dihadapan orang lain. Hal ini tidak bisa diterima karena Ibu Yayah sudah menganggap menantunya tersebut seperti anaknya sendiri dan hal itu tidak lazim diucapkan dalam budaya sunda oleh seorang menantu di hadapan mertuanya sendiri dan orang lain.
Contoh:
Tuturan dibawah ini berlangsung pada saat terjadinya kumpulan para ibu yang sedang mengadakan arisan. Ketika itu Ibu yayah datang terlambat sedangkan menantunya Sri Endah telah datang terlebih dahulu.
Sri Endah: “Sebentar jangan dulu dimulai, itu mertua saya baru datang!”
                        Selain permasalahan mengenai system deiksis yang digunakan, sering kali timbul pula permasalahan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan kebiasaan penggunaan unsur suprasegmental bahasa. Sri Endah yang berlatar belakang budaya betawi terbiasa untuk menggunakan frekuensi yang tinggi saat berbicara sehingga terkadang hal tersebut menyinggung perasaan Ibu Yayah, padahal sebenarnya Sri Endah tidak bermaksud untuk menyinggung hati Ibu Yayah.
v  Deiksis Waktu
Dalam contoh tuturan yang terdapat dalam deskripsi data, kita dapat menemukan adanya deiksis waktu yang perhitungannya tidak tentu atau relative yakni dalam tuturan kedua dan kedelapan dimana didalamnya terdapat kata ntar atau nanti yang merupakan bentuk kepada jarak waktu  yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat oleh penutur.
Sri Endah: Mah endah teh asa gak arenak badan, muriang. Ntar mau periksa sama Ayah
v  Deiksis Tempat
Terdapat dua buah deiksis tempat yang ditemukan dalam tuturan mertua dan menantu diatas. Deiksis tempat pertama dapat kita temukan pada tuturan  kesepuluh, dimana dalam tuturan tersebut Ibu yayah memberikan bentuk pada lokasi yang menurut ibu yayah tinggi pada saat peristiwa bahasa itu terjadi. Adapaun kata yang digunakan olehnya adalah kata di atas.
Teh Endah       : Teh endah duduknya di atas atuh teh!
Selain sistem deiksis yang dapat kita temukan dalam penelitian mertua dan menantu yang berlatar belakang budaya berbeda ini, kita juga dapat menemukan suatu hal yang menarik dimana dalam komunikasi diantara keduanya, mereka menggunakan dua bahasa yang saling bercampur yakni bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis diatas kita dapat melihat bahwa latar belakang budaya yang berbeda memang dapat mempengaruhi kelancaran sebuah komunikasi yang dibangun. Oleh sebab itu pada saat berkomunikasi hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor seperti lawan bicara, tujuan pembicara, masalah yang dibicarakan, dan situasi. Adapun faktor utama yang harus diperhatikan agar komunikasi yang dibangun menjadi baik adalah faktor lawan bicara, hal ini harus sangat diperhatikan sehingga kita tidak salah dalam menentukan bentuk kata yang akan digunakan, terutama sekali apabila latar belakang budaya lawan bicara berbeda. Selain itu, kita juga harus mempelajari latar belakang budaya yang digunakan oleh lawan tutur sehingga kita dapat menyesuaikan diri dengan latar belakang budaya lawan tutur.
Penutup
Kesimpulan
            Sistem deiksis suatu bahasa berbeda dengan sistem deiksis bahasa yang lain. Setiap bahasa memiliki latar belakang budaya dan kaidah masing-masing. Oleh sebab itu, komunikasi yang dibangun oleh dua orang yang berlatar belakang budaya berbeda memang sering menjumpai permasalahan. Hal ini pula yang sering terjadi dalam komunikasi yang terjalin antara seorang mertua dan menantu yang berlatar belakang budaya berbeda.
Berdasarkan hasil analisis terhadap tuturan mertua dan menantu diatas, kita dapat menemukan bahwa menantu yang tidak mengetahui sistem deiksis mertuanya lebih memilih menggunakan nama dirinya sebagai bentuk deiksis persona pertama tunggal. Selain itu ia juga menggunakan bentuk “Mamah” untuk merujuk mertua yang menjadi lawan bicaranya dalam system deiksis persona kedua.
Adapun bentuk deiksis persona pertama tunggal yang digunakan oleh sang mertua kepada menantunya adalah “Mamah”. Sedangkan bentuk deiksis yang digunakan untuk merujuk menantunya adalah dengan menggunakan bentuk “Teteh”.
Dalam membangun sebuah komunikasi dengan seseorang yang berlatar belakang budaya yang berbeda terutama seseorang yang berumur lebih tua, sebisa mungkin kita harus memahami dan mempelajari bagaimana latar belakang budaya yang dimilikinya agar kita dapat menyesuaikan diri dengan budaya yang dimiliki oleh orang tersebut, sehingga kita tidak akan menyinggung perasaan orang lain yang menjadi lawan bicara.

Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa
Penemuan yang didapat dalam penelitian ini dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia terutama dalam bidang berbicara. Dimana dalam mengajarkan siswa mengenai keterampilan berbicara hendaknya guru mengingatkan siswa untuk memperhatikan latar belakang budaya lawan bicara.  Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh nara sumber apabila siswa keliru dalam menggunakan sistem deiksis yang sesuai dengan latar belakang budayanya agar kegiatan wawancara tersebut dapat berjalan dengan baik.
Pustaka Acuan
Agustina. 1995. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Padang: IKIP Padang.
Firdawati. 2011. “Deiksis”. [Online]. Tersedia: yusrizalfirzal.wordpress.com [19Maret 2011]
Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Setiawan, Teguh. System deiksis Persona dalam Tindak Komunikasi. [Online]. Tersedia: eprints.uny.ac.id [19Maret 2011]
Yule, George.2006. “Pragmatik”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar