Rabu, 11 Mei 2011

Sastra Nusantara

Implementasi Transformasi Bentuk Sastra Klasik Hikayat
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Jenjang SMA

1.    Pendahuluan
Keanekaragaman budaya Indonesia tercermin dalam khazanah sastra Indonesia. Hal itu terwujud dalam sastra-sastra daerah yang terdapat di seluruh nusantara yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Karya sastra klasik ini memiliki beragam jenis dan bentuk, baik berupa puisi maupun prosa, contohnya hikayat, dongeng, pantun, mitos, dan legenda.
Karya sastra klasik yang terdapat di seluruh nusantara menggunakan beragam bahasa daerah sesuai tempat karya sastra itu berkembang. Hal itu menimbulkan kesulitan sebagian besar masyarakat untuk memahami karya sastra klasik karena kemampuan berbahasa mereka terbatas pada bahasa ibu dan bahasa nasional. Keanekaragaman karya sastra itu dapat dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, transformasi sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia sangat diperlukan supaya seluruh masyarakat Indonesia dapat mengapresiasi sastra-sastra daerah itu.     
Karya sastra, baik puisi maupun prosa, merupakan materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Salah satu bentuk karya sastra klasik yang dipelajari pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah hikayat. Hikayat dipandang sebagai cerita lama yang memiliki kepakeman dan kekhasan cerita, mulai dari tokoh hingga ide cerita yang istana sentris. Dick hartoko dan B. Rahmanto memberikan definisi hikayat sebagai jenis prosa cerita Melayu Lama yang mengisahkan kebesaran dan kepahlawanan orang-orang ternama, para raja atau para orang suci di sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan dan muzizat tokoh utamanya, kadang mirip cerita sejarah atau berbentu riwayat hidup.
 Penyampaian materi sastra dalam mata pelajaran tersebut memiliki banyak manfaat, yaitu membuat peserta didik terampil berbahasa, meningkatkan kreativitas peserta didik, memperhalus akal budi peserta didik, dan menambah pengalaman budaya peserta didik. Manfaat itu relevan dengan salah satu tujuan dan fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seperti yang tersurat dalam Kurikulum 2004, yaitu sebagai sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia.
2.    Pembahasan
Konsep pembelajaran apresiasi sastra klasik hikayat ini dalam kurikulum 2004 akan sangat memungkinkan diimplementasikan karena dalam evaluasinya tidak hanya ranah kongnitif yang dinilai tetapi juga ranah afektif dan psikomotor yang terwadahi oleh penilaian skala sikap dan portofolio. Kurikulum 2004 menuntut pembelajaran sastra klasik, salah satunya hikayat, seperti yang tertera dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar pada jenjang SMA berikut.
Kelas  X
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Membaca
15.     Memahami sastra Melayu klasik 

15.1  Mengidentifikasi karakteristik dan   struktur         unsur intrinsik sastra Melayu klasik
15.2  Menemukan  nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu klasik

Kelas  XI
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Membaca
7.    Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan


7.1  Menemukan unsur-unsur intrinsik  dan ekstrinsik hikayat

Membaca
15. Memahami buku biografi, novel, dan hikayat
15.1  Mengungkapkan hal-hal  yang menarik dan  dapat diteladani dari tokoh 
15.2  Membandingkan unsur intrinsik  dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat  

Kelas  XI
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Membaca
11      Memahami buku kumpulan puisi kontemporer dan  karya sastra yang dianggap penting pada tiap periode

15.1  Mengidentifikasi   tema dan ciri-ciri puisi kontemporer melalui kegiatan membaca buku kumpulan puisi komtemporer
15.2  Menemukan perbedaan karakteristik  angkatan  melalui membaca karya sastra yang dianggap penting pada setiap periode   


            Bertolak pada standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut, sastra klasik Indonesia yang berupa hikayat dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Indonesia kaya akan sastra klasik hikayat yang muncul setelah masuknya agama Hindu dan Islam ke Indonesia, contohnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Raja-Raja Aceh, dan Hikayat si Miskin, serta hikayat yang muncul karena pengaruh luar contohnya Hikayat Panji Semirang dan Hikayat Cekel Weneng Pati.
Cerita Hikayat Raja-Raja Pasai dipilih sebagai sampel cerita lama yang ditransformasikan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peserta didik dalam memahami hikayat yang disajikan sehingga peserta didik dapat mengapresiasi sastra klasik tersebut sesuai kompetensi yang telah ditetapkan. Implementasi pembelajaran transformasi Hikayat Raja-Raja Pasai di SMA kelas sebelas semester satu yaitu pada standar kompetensi membaca, memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan, dengan kompetensi dasar menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat.
Cerita Hikayat Raja-Raja Pasai adalah sebagai berikut.
Hikayat Raja-Raja Pasai
I
Pemberian Nama Samudera
Maka tersebutlah perkataan Merah Silu (diam) di Rimba Jerau itu. Sekali peristiwa pada suatu hari Merah Silu pergi berburu. Ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu, bernama si Pasai. Dilepaskannya anjing itu. Lalu, ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Dilihatnya ada seekor semut, besarnya seperti kucing. Ditangkapnya oleh Merah Silu semut itu, lalu dimakannya. Tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Setelah itu, diperbuatnya akan istananya. Setelah itu, Merah Silu pun duduklah ia di sana; dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana. Dinamai oleh Merah Silu negeri itu Samudera, artinya semut yang amat besar (= raja); di sanalah ia diam raja itu.
II
Pembangunan Negeri Pasai
Kata sahib al-hikayat: Pada suatu hari, Sultan Malik as-Saleh pergi bermain-main berburu dengan segala laskarnya ke tepi laut. Dibawanya seekor anjing perburuan bernama si Pasai itu. Tatkala sampailah Baginda itu ke tepi laut, disuruhnya lepaskan anjing perburuan itu. Lalu, ia masuklah ke dalam hutan yang di tepi laut itu. Bertemu ia dengan seekor pelanduk duduk di atas pada suatu tanah yang tinggi. Disalaknya oleh anjing itu, hendak ditangkapnya. Tatkala dilihat oleh pelanduk anjing itu mendapatkan dia, disalaknya anjing itu oleh pelanduk. Anjing itupun undurlah. Tatkala dilihat pelanduk, anjing itu undur, lalu pelanduk kembali pula padatempatnya. Dilihat oleh anjing, pelanduk itu kembali pada tempatnya. Didapatkannya pelanduk itu oleh anjing, lalu ia berdakap-dakapan kira-kira tujuh kali.
Heranlah Baginda melihat hal kelakuan anjing dengan pelanduk itu. Masuklah Baginda sendirinya hendak menangkap pelanduk itu ke atas tanah tinggi itu. Pelanduk pun lari; didakapnya juga oleh anjing itu. Sabda Baginda kepada segala orang yang ada bersama-sama dengan dia itu:
"Adakah pernahnya kamu melihat pelanduk yang gagah sebagai ini? Pada bicaraku sebab karenaia diam pada tempat ini, itulah rupanya, maka pelanduk itu menjadi gagah".
Sembah mereka itu sekalian: "Sebenarnyalah seperti sabda Yang Maha Mulia itu". Pikirlah Baginda itu:
"Baik tempat ini kuperbuat negeri anakku Sultan Malik at-Tahir kerajaan". Sultan Malik as-Salehpun kembalilah ke istananya. Pada keesokan harinya Bagindapun memberi titah kepada segala menteri dan hulubalang rakyat tentera, sekalian menyuruh menebas tanah akan tempat negeri, masing-masing pada kuasanya dan disuruh Baginda perbuat istana pada tempat tanah tinggi itu.
Sultan Malik as-Salehpun pikir di dalam hatinya, hendak berbuat negeri tempat ananda Baginda. Titah Sultan Malik as-Saleh pada segala orang besar:
"Esok hari kita hendak pergi berburu".
Telah pagi-pagi hari, Sultan Malik as-Salehpun berangkat naik gajah yang bernama Perma Dewana. Lalu berjalan ke seberang datang ke pantai. Anjing yang bernama si Pasai itupun menyalak. Sultan Malik as-Salehpun segera mendapatkan anjing itu. Dilihatnya, yang disalaknya itu tanah tinggi, sekira-kira seluas tempat istana dengan kelengkapan, terlalu amat baik, seperti tempat ditambak rupanya. Oleh Sultan Malik as-Saleh tanah tinggi itu disuruh oleh Baginda tebas. Diperbuatnya negeri kepada tempat itu dan diperbuatnya istana. Dinamainya Pasai menurut nama anjing itu. Ananda Baginda Sultan Malik at-Tahir dirayakan oleh Baginda di Pasai itu.
III
Peminangan Seorang Sultan dan Perkawinannya
Kemudian dari itu, Sultan Malik as-Saleh menyuruhkan Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din ke negeri Perlak meminang anak Raja Perlak. Adapun Raja Perlak itu beranak tiga orang perempuan, dan yang dua orang itu anak gehara, dan seorang anak gundik, Puteri Ganggang namanya. Telah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din datang ke Perlak, ketiga ananda itu ditunjukkannya kepada Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din. Adapun Puteri yang dua bersaudara itu duduk di bawah, anaknya Puteri Ganggang itu didudukkan di atas tempat yang tinggi, disuruhnya mengupas pinang. Dan akan saudaranya kedua itu berkain warna bunga air mawar dan berbaju warna bunga jambu, bersubang lontar muda, terlalu baik parasnya. Sembah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din kepada Raja Perlak:
"Ananda yang duduk di atas, itulah pohonkan akan paduka ananda itu".
Tetapi Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din tiada tahu akan Puteri Ganggang itu anak gundik Raja Perlak. Maka Raja Perlakpun tertawa gelak-gelak, seraya katanya:
"Baiklah, yang mana kehendak anakku".
Sumber: Bunga Rampai Melayu Kuno, 1952
(dengan penyesuaian ejaan)

Dari isi hikayat tersebut dapat dianalisis unsur  intrinsik hikayat. Tema dalam hikayat tersebut berhubungan dengan kisah sebuah kerajaan dari mulai pemberian nama, pembangunan negeri, sampai hal-hal yang terjadi di negeri tersebut. Selanjutnya, tokoh tokoh yang ada dalam cerita tersebut adalah Sultan Malik as-Saleh, Merah Silu, si Pasai (seekor anjing), Perma Dewana (seekor gajah), Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din, dan tokoh tambahan lainnya.
Seperti halnya ciri hikayat, hikayat ini mengandung unsur perwatakan tokoh yang mempunyai kemampuan sempurna sebagai manusia. Ia adalah orang-orang istana yang berbeda dengan kehidupan orang banyak. Adapun latarnya adalah di Rimba Jerau dan Kerajaan Perlak. Alur cerita dalam hikayat tersebut merupakan alur standar hikayat, yaitu alur maju. Dalam hal ini, Anda dapat mengamati bahwa ada pembabakan cerita dari mulai penamaan kerajaan sampai peminangan seorang putri raja. Dalam hikayat ini seakan tidak ada konflik yang menonjol antara pertentangan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Sebagai karya tradisional, karya hikayat mempunyai sudut penceritaan orang ketiga (dia atau nama tokoh).
Gaya bahasa yang digunakan dalam bahasa ini adalah gaya bahasa Melayu yang berbeda gayanya dengan bahasa masa kini. Amanat yang hendak disampaikan yaitu sebagai berikut.
a.       Seorang raja adalah manusia yang sempurna dan memiliki kelebihan yang jauh berbeda dengan orang biasa.
b.      Hal-hal kecil pun dapat membuat sejarah bagi perkembangan negeri. Dalam hal ini contohnya nama negeri yang berasal dari nama seekor anjing (Pasai).
c.       Membina hubungan dengan negeri lain sangat diperlukan, contohnya dengan adanya perkawinan antaranggota kerajaan.

Unsur ekstrinsik hikayat ini, dalam keterangan di buku Perintis Sastra (1952), disebutkan bahwa hikayat sejarah ini terjadi pada zaman Sultan Malik as-Saleh. Hikayat ini dibuat sekitar abad ke-14. Hal lain yang berhubungan dengan unsur luar (ekstrinsik) sebuah hikayat ada kalanya sebagai legitimasi keberadaan sebuah negeri atau keluarga raja. Hal ini sebagai tanda bahwa raja dan negerinya dibuat dengan segala keajaiban di dalamnya yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.

3.    Penutup
              Sastra klasik Indonesia dalam bentuk hikayat yang ditransformasikan ke dalam bahasa Indonesia dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada jenjang SMA. Transformasi sastra klasik ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra tersebut.
              Pembelajaran sastra klasik ini juga didukung oleh standar kompetensi dan kompetensi dasar Bahasa Indonesia jenjang SMA/MA yang ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan. Standar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut memuat kompetensi yang harus dikuasai peserta didik dalam keterampilan mengapresiasi karya sastra klasik Indonesia khususnya dalam bentuk hikayat.
              Implementasi pembelajaran bentuk sastra klasik hikayat dapat dilakukan contohnya dengan menyajikan transformasi Hikayat Raja-Raja Samudra Pasai dalam bahasa Indonesia sehingga peserta didik yang memiliki latar belakang bahasa ibu yang beraneka ragam dapat mengapresiasi hikayat tersebut. Apresiasi hikayat ini dapat dilakukan contohnya peserta didik  mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat tersebut serta menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat tersebut.     









Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2004). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA). Jakarta: Depdiknas.
Pekanbaru. (2010). Karya Sastra Melayu Klasik. [Online]. Tersedia: http://www.pekanbaruriau.com/2010/01/karya-sastra-melayu-klasik.html [4November 2010]
Sulton, Agus. (2010). Teks Klasik dan Pembentukan Budaya Daerah. [Online]. Tersedia: http://forumsastrajombang.blogspot.com/ [4 November 2010]
Sumiyadi. (2008). Pemodernan Cerita Rakyat dan Masalah Pembelajarannya. [Online]. Tersedia: http://xpresisastra.blogspot.com/2008/06/pemodernan-cerita-rakyat-dan-masalah-pembelajarannya.html [4 November 2010]
Sumiyadi. (2008). Sastra Pendidikan dan Pendidikan Sastra. [Online]. Tersedia: http://xpresisastra.blogspot.com/2008/06/sastra-pendidikan-dan-pendidikan-sastra.html [4 November 2010]
Suyoto, Agustinus. (2007).Sastra Melayu Klasik Sastra Indonesia Lama. [Online]. Tersedia: http://oyoth.multiply.com/journal/item/5 [4 November 2010]

2 komentar: